Mulai 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kenaikan ini berlaku untuk berbagai barang dan jasa, termasuk biaya transaksi elektronik seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa biaya layanan transaksi elektronik, termasuk QRIS, akan dikenakan PPN 12%. Namun, beberapa jenis barang kebutuhan pokok, seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran, tetap dibebaskan dari PPN.Selain itu, pemerintah juga memberikan fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk beberapa barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, seperti minyak goreng curah "Kita", tepung terigu, dan gula industri. Dengan demikian, tambahan PPN sebesar 1% akan ditanggung oleh pemerintah sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut.Di sisi lain, perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah membawa dampak signifikan dalam berbagai sektor, termasuk sektor keuangan. Namun, kemajuan ini juga diiringi dengan peningkatan risiko penipuan finansial yang memanfaatkan AI. Laporan terbaru menunjukkan bahwa penipuan identitas berbasis deepfake dan AI dalam transaksi digital semakin meningkat. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk meningkatkan kewaspadaan dan mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan guna melindungi diri dari ancaman tersebut. PPN 12% untuk Transaksi Elektronik: Mendorong
Kepatuhan Pajak di Era DigitalPPN 12% pada transaksi elektronik diterapkan untuk
memaksimalkan potensi pajak dari sektor yang terus berkembang pesat. Platform
digital seperti e-commerce, aplikasi berlangganan, dan layanan berbasis
teknologi kini menjadi target penerapan kebijakan ini. Kebijakan tersebut
dinilai mampu menciptakan keadilan antara pelaku bisnis konvensional dan
digital. Namun, penerapan pajak ini tidak lepas dari pro dan kontra.
Sebagian pelaku usaha merasa beban pajak tersebut dapat memengaruhi daya beli
konsumen. Di sisi lain, pemerintah menekankan pentingnya kontribusi sektor
digital dalam mendorong pembangunan ekonomi.Penipuan Finansial dengan AI: Ancaman yang Kian
NyataDi tengah inovasi teknologi yang semakin canggih, ancaman
penipuan finansial berbasis AI menjadi momok baru. AI digunakan untuk
menciptakan skema penipuan yang lebih meyakinkan, seperti deepfake yang
menyerupai suara atau wajah seseorang untuk memanipulasi korban. Selain itu, AI
juga mempermudah pelaku untuk menganalisis pola transaksi korban, sehingga
mereka dapat melancarkan serangan yang lebih terarah.Fenomena ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran akan
keamanan siber, baik di kalangan individu maupun perusahaan. Pengguna harus
lebih waspada terhadap aktivitas mencurigakan, sementara perusahaan perlu
meningkatkan proteksi melalui sistem keamanan berbasis AI yang lebih kuat.Tantangan dan PeluangPenerapan PPN 12% dan meningkatnya penipuan finansial
berbasis AI menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pelaku usaha digital.
Dengan regulasi yang semakin ketat, pelaku usaha diharapkan dapat mengelola
keuangan mereka dengan lebih transparan. Sementara itu, tantangan keamanan
finansial mendorong pelaku teknologi untuk menciptakan solusi inovatif guna
melindungi konsumen.Dalam menghadapi perubahan ini, kolaborasi antara
pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat menjadi kunci utama. Regulasi yang
jelas, literasi digital yang tinggi, serta teknologi pengamanan yang mumpuni
dapat menjadi solusi untuk menghadapi era digital yang semakin kompleks. Jika bisnis Anda membutuhkan solusi digital seperti
pembuatan website atau aplikasi mobile yang aman, handal, dan sesuai dengan
kebutuhan era digital, TechnoMonsta siap membantu Anda. Hubungi kami
untuk mewujudkan ide digital Anda menjadi kenyataan!